untaian kata kepada dunia

Monday, January 21, 2013

Untukmu, Ma


Untuk setiap air mata yang menetes karenaku. Maaf, ma.
Untuk setiap nada tinggi yang terucap untukmu. Maaf, ma.
Untuk setiap kata dan tingkah lakuku yang menyakitimu. Maaf, ma.
Untuk setiap acuh dan ketidakpedulianku padamu. Maaf, ma.
Untuk setiap perih di hatimu karenaku. Maaf, ma.
Untuk setiap tetes peluh, air susu, darah yang kau keluarkan untukku. Terima kasih, ma.
Untuk setiap cemas karena mengkhawatirkanku. Terima kasih, ma.
Untuk setiap masakan yang terhidang hangat di meja. Terima kasih, ma.
Untuk setiap omelan, nasihat yang tak pernah bosan kau sampaikan padaku. Terima kasih, ma.
Untuk setiap doa yang kau panjatkan untukku dalam tiap sujudmu. Terima kasih, ma.

...

Ma, di saat aku memutuskan bekerja di luar kota. Jauh darimu. Aku tak berpikiran apa-apa ma. Tapi ternyata jauh darimu membuatku akhirnya tersadar bahwa kata-katamu adalah benar. Malu aku ma dengan segala pikiranku sebelumnya. Pikirku bahwa kau tau apa. Kau tak tau apa-apa. Maafku untukmu untuk setiap pikiranku “mama gak tau apa-apa”, “mama gak ngerti”. Ternyata aku yang tidak tau apa-apa. Ternyata aku yang belum mengerti ma. Butuh 24 tahun untukku untuk menyadarinya ma. Maaf, ma. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan ma? Dan ma, seperti biasa aku dengan keangkuhanku tak kuasa mengakuinya langsung di hadapanmu. Maaf, ma.

Aku tidak akan lupa ma. Waktu kau menjengukku di Jakarta dan kemudian aku mengantarmu ke bandara. Sambil menunggu pesawatmu, kita duduk di ruang tunggu. Aku mengatakan padamu bahwa aku belum mampu memberimu sesuatu. Aku memperhatikan. Kau terdiam sejenak dan kemudian tertawa sambil berkata “gak papa, nduk”. Kemudian mengelus puncak kepalaku dan mengecup keningku. Tahukah kau ma? Hatiku membuncah, mataku panas menahan air mata. Ya ma,  anakmu ini cengeng luar biasa.

Ma, aku heran kenapa kau bisa mengatakan hal yang sama berulang-ulang tiap kita ada kesempatan untuk bercengkrama. Mungkin itu naluri ibu ya ma, yang selalu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Apa mungkin kau takut ada hal yang terlewat yang bisa kau sampaikan pada kami? Dan ma, kalau mama tidak mengatakan hal itu aku mencari-cari ma, aneh ya ma. "Makan teratur, nduk", "jangan lupa makan buah", "sholat 5 waktu dijaga, ngaji tiap hari nduk", kamarnya dibersihkan setiap hari". Selalu terngiang-ngiang di telingaku ma, heran kadang aku dibuatnya. Ma, jangan pernah takut anak-anakmu tidak mendengarkanmu. Karena diam tidak selalu berarti abai.

Ah ya ma, sampai lupa. Apa aku sudah pernah bilang kalau tidak ada masakan seenak masakanmu di lidahku? Haute cuisine lewat, ma. Tak peduli kalau orang lain beranggapan berbeda. Apa aku sudah pernah bilang terima kasih untuk setiap masakan yang kau buat? Apa aku sudah pernah bilang terima kasih setiap aku pulang kau menyambutku dengan memasakkanku makanan favoritku? Kalau belum, makasi ya ma :"). Pulang belum afdol rasanya kalau tidak mencicipi masakan mama. Dan itu yang memotivasiku belajar masak ma. Aku ingin anak-anakku nanti pun merasakan yang sama seperti yang aku rasakan ke mama. Merasakan cinta dari masakan.

“Sebaik-baiknya manusia itu manusia yang bermanfaat”. Suatu saat kau berkata. Tak hanya sekali kau berkata begitu ma. Yah seperti biasa aku hanya diam ketika kau mulai memberi nasihat atau biasa aku bilang kau sedang “ngomel”. Tapi percaya ma. Diamku tak selalu berarti aku abai pada kata-katamu. Kata-katamu yang itu terpatri di hatiku ma. Mengkristal di sana dan menjadi salah satu nilai kehidupanku. Dan kalimat itu pula yang menjadi salah satu tumpuanku untuk meraih mimpi besarku ma. Mendirikan yayasan pendidikan. Doakan aku ya ma.

Ma, seorang anak tidak bisa memilih siapa orang tua mereka. Tapi ma, betapa bersyukurnya aku memiliki mama sebagai ibuku dan papa sebagai ayahku. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan kalian. Betapa beruntungnya aku, aku bisa mendapatkan nilai kehidupan yang akan terus aku pegang dari masing-masing kalian.

Dan ma, aku tidak tau apakah pada akhirnya kau akan membaca surat ini atau tidak. Maafkan aku hanya mampu merangkai kumpulan aksara ini menjadi tulisan. Aku makhluk verbal ma, kalau kau belum mengetahuinya. Ah, lagi-lagi aku dengan pongahnya. Maafkan aku ma. Aku lebih mudah dan nyaman menyampaikan apa yang aku rasakan dan pikirkan melalui tulisan daripada lisan. Percayalah ma, jika aku langsung menyampaikan ini kepadamu, aku takkan sanggup menahan air mata. Sungguh ma, aku tak sekuat dirimu, aku cengeng luar biasa.

Dan ma, seperti yang aku bilang di suratku untuk papa. Tidak ada manusia tanpa cela, termasuk kita. Seperti di suratku untuk papa. Dirimu dengan segala kelebihan dan kekuranganmu tak menyurutkan rasa cintaku padamu. Kau harus tau itu. Harus ma.

Ma andai kau tau tak mudah bagiku untuk menyampaikan ini semua. Aneh ya ma, betapa mudahnya aku mengatakan cinta kepada orang lain tapi untuk mengatakannya kepadamu dan papa saja perlu derai air mata. Tapi mungkin karena rasa ini sudah menumpuk lama dan kita tidak terbiasa mengungkapkannya. Sentimentil jadinya.

Ma... aku tau  aku telah banyak menorehkan luka di hatimu...
Aku dengan keangkuhanku selalu saja enggan dan terpaksa meminta maaf padamu.
Semoga masih tersisa ruang maaf dan cinta di hatimu untukku.
Karena ma, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu aku mencintaimu sebagai ibuku.



Putrimu yang mencintaimu,
Lusia Agasty Prihantika.

2 comments:

Anonymous said...

Kembali membahas seputar orang tua. Pertanda lagi menyimpan rindu dgn keluarga. Kalau boleh menebak, sasaran 30 hari menulis surat cinta berikutnya adalah saudara. Hehe..

:D

Lusia Agasty P said...

mahahahaha mas teguuuh..ketebak deh

Post a Comment

My Blog List

Powered by Blogger.

© 2011 L'histoire de Ma Vie, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena