Untuk setiap air mata yang menetes karenaku. Maaf, ma.
Untuk setiap nada tinggi yang terucap untukmu. Maaf, ma.
Untuk setiap kata dan tingkah lakuku yang menyakitimu. Maaf,
ma.
Untuk setiap acuh dan ketidakpedulianku padamu. Maaf, ma.
Untuk setiap perih di hatimu karenaku. Maaf, ma.
Untuk setiap tetes peluh, air susu, darah yang kau keluarkan
untukku. Terima kasih, ma.
Untuk setiap cemas karena mengkhawatirkanku. Terima kasih,
ma.
Untuk setiap masakan yang terhidang hangat di meja. Terima kasih, ma.
Untuk setiap omelan, nasihat yang tak pernah bosan kau
sampaikan padaku. Terima kasih, ma.
Untuk setiap doa yang kau panjatkan untukku dalam tiap
sujudmu. Terima kasih, ma.
...
Ma, di saat aku memutuskan bekerja di luar kota. Jauh
darimu. Aku tak berpikiran apa-apa ma. Tapi ternyata jauh darimu membuatku
akhirnya tersadar bahwa kata-katamu adalah benar. Malu aku ma dengan segala
pikiranku sebelumnya. Pikirku bahwa kau tau apa. Kau tak tau apa-apa. Maafku
untukmu untuk setiap pikiranku “mama gak tau apa-apa”, “mama gak ngerti”. Ternyata
aku yang tidak tau apa-apa. Ternyata aku yang belum mengerti ma. Butuh 24 tahun
untukku untuk menyadarinya ma. Maaf, ma. Tapi lebih baik terlambat daripada
tidak sama sekali kan ma? Dan ma, seperti biasa aku dengan keangkuhanku tak
kuasa mengakuinya langsung di hadapanmu. Maaf, ma.
Aku tidak akan lupa ma. Waktu kau menjengukku di Jakarta dan
kemudian aku mengantarmu ke bandara. Sambil menunggu pesawatmu, kita duduk di
ruang tunggu. Aku mengatakan padamu bahwa aku belum mampu memberimu sesuatu.
Aku memperhatikan. Kau terdiam sejenak dan kemudian tertawa sambil berkata “gak
papa, nduk”. Kemudian mengelus puncak kepalaku dan mengecup keningku. Tahukah
kau ma? Hatiku membuncah, mataku panas menahan air mata. Ya ma, anakmu ini cengeng luar biasa.
Ma, aku heran kenapa kau bisa mengatakan hal yang sama berulang-ulang tiap kita ada kesempatan untuk bercengkrama. Mungkin itu naluri ibu ya ma, yang selalu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Apa mungkin kau takut ada hal yang terlewat yang bisa kau sampaikan pada kami? Dan ma, kalau mama tidak mengatakan hal itu aku mencari-cari ma, aneh ya ma. "Makan teratur, nduk", "jangan lupa makan buah", "sholat 5 waktu dijaga, ngaji tiap hari nduk", kamarnya dibersihkan setiap hari". Selalu terngiang-ngiang di telingaku ma, heran kadang aku dibuatnya. Ma, jangan pernah takut anak-anakmu tidak mendengarkanmu. Karena diam tidak selalu berarti abai.
Ah ya ma, sampai lupa. Apa aku sudah pernah bilang kalau tidak ada masakan seenak masakanmu di lidahku? Haute cuisine lewat, ma. Tak peduli kalau orang lain beranggapan berbeda. Apa aku sudah pernah bilang terima kasih untuk setiap masakan yang kau buat? Apa aku sudah pernah bilang terima kasih setiap aku pulang kau menyambutku dengan memasakkanku makanan favoritku? Kalau belum, makasi ya ma :"). Pulang belum afdol rasanya kalau tidak mencicipi masakan mama. Dan itu yang memotivasiku belajar masak ma. Aku ingin anak-anakku nanti pun merasakan yang sama seperti yang aku rasakan ke mama. Merasakan cinta dari masakan.
“Sebaik-baiknya manusia itu manusia yang bermanfaat”. Suatu saat
kau berkata. Tak hanya sekali kau berkata begitu ma. Yah seperti biasa aku
hanya diam ketika kau mulai memberi nasihat atau biasa aku bilang kau sedang
“ngomel”. Tapi percaya ma. Diamku tak selalu berarti aku abai pada kata-katamu.
Kata-katamu yang itu terpatri di hatiku ma. Mengkristal di sana dan menjadi
salah satu nilai kehidupanku. Dan kalimat itu pula yang menjadi salah satu
tumpuanku untuk meraih mimpi besarku ma. Mendirikan yayasan pendidikan. Doakan
aku ya ma.
Ma, seorang anak tidak bisa memilih siapa orang tua mereka.
Tapi ma, betapa bersyukurnya aku memiliki mama sebagai ibuku dan papa sebagai
ayahku. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan kalian. Betapa beruntungnya aku, aku bisa mendapatkan nilai kehidupan yang akan
terus aku pegang dari masing-masing kalian.
Dan ma, aku tidak tau apakah pada akhirnya kau akan membaca
surat ini atau tidak. Maafkan aku hanya mampu merangkai kumpulan aksara ini
menjadi tulisan. Aku makhluk verbal ma, kalau kau belum mengetahuinya. Ah,
lagi-lagi aku dengan pongahnya. Maafkan aku ma. Aku lebih mudah dan nyaman
menyampaikan apa yang aku rasakan dan pikirkan melalui tulisan daripada lisan.
Percayalah ma, jika aku langsung menyampaikan ini kepadamu, aku takkan sanggup
menahan air mata. Sungguh ma, aku tak sekuat dirimu, aku cengeng luar biasa.
Dan ma, seperti yang aku bilang di suratku untuk papa. Tidak
ada manusia tanpa cela, termasuk kita. Seperti di suratku untuk papa. Dirimu
dengan segala kelebihan dan kekuranganmu tak menyurutkan rasa cintaku padamu.
Kau harus tau itu. Harus ma.
Ma andai kau tau tak mudah bagiku untuk menyampaikan ini semua.
Aneh ya ma, betapa mudahnya aku mengatakan cinta kepada orang lain tapi untuk
mengatakannya kepadamu dan papa saja perlu derai air mata. Tapi mungkin karena rasa ini sudah menumpuk lama dan kita tidak terbiasa mengungkapkannya.
Sentimentil jadinya.
Ma... aku tau aku
telah banyak menorehkan luka di hatimu...
Aku dengan keangkuhanku selalu saja enggan dan terpaksa
meminta maaf padamu.
Semoga masih tersisa ruang maaf dan cinta di hatimu untukku.
Karena ma, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu aku
mencintaimu sebagai ibuku.
Putrimu yang mencintaimu,
Lusia Agasty Prihantika.